Tuesday, July 10, 2012


"Ku-panggil sebutan-Moe ”Dik ” . . . .


Kupanggil dalam benak-koe, diri moe dengan sebutan “dik”
Tak pernah tersampaikan . . juga dalam kata-kata
Mau Kupaksakan dalam sebutan
 Sepertinya naif, ”tak pernah dan asing . . .
Walau bersama-moe telah dikarunia putra
Putra bulan, putra matahari, putra bayu . . .

Terkejut !!
dan setengah tersentak . . . .
ketika penjual cempedak
Memindahkan pikulannya dari bahu kiri, ke kanan
Memotong jalur sepeda, memotong mimpi
Menyentak’kan lamunan . . .
Rem sepeda Gazelle kuremas sekuatnya
menderit bunyi ban tergerus kasar . . . . .
”shoes rem yang telah mati – menghujam  velg Kron Prinz ”
Hampir saja, sepeda tua koe menerkam buritan bakul cempedak 
Darah sepertinya terpompa ke atas . . .
Mengalir cepat sepanjang aliran nadi, masya Allah . . .

Mencoba, menormalkan kembali
Kayuhan sepeda dan men sinkronkan dengan lamunan .
Sampai mana tadi . . .
Oh ya . . .dik,  mama . . .sebutan untuk moe . . .

Kadang-kadang singkat saja ” ma”
Tetapi menggambarkan semua warna
Hijau, lembayung , kuning ataupun merah . . . .
Semburat warna merah pratanda marah . . .
Buat-koe bisa saja merah – menjadi cantik
Atau membelenggu menjadi darah beku, yang perlu pencairan .  .
Se saat . . .untuk melihat moe cerah kembali
Dik untuk koe – bulan selalu hinggap diatas kepala-moe

Pedal Wipperman sepeda tua,  kukayuh kuat
Menembus belantara tanjakan Kemang Utara
Seperti mendaki tiga bukit di Argapura . . . .
Padahal Jalan yang sama, yang kulalui harian
selalu dalam genggaman gaz motor skutik
Tidak terasa, hanya bunyi mesin menggeram kencang
Pasti terlewati, tiap tanjakan . . . tanpa penat

Tetapi sekarang, setiap kayuhan, melunturkan peluh
Disergap lelah . . .
Tidak ada kayuhan yang sama
Kombinasi tenaga yang terkuras dan laju yang terbatas
Ketengkas berderit – tersambar rantai sepeda yang kukayuh
Aaah .....ada saja mobil yang menginjak rem mendadak
Ditengah tanjakan . . .uhhh !

Tidak pernah tau – semau-nya memotong jalur
Padahal aku sudah ambil ancar-ancar dari bawah
Menyimpan tenaga . . . .ntuk melalap tanjakan
Sekarang harus menekan rem tangan
Dan tenaga yang terpangkas ditengah jalan
Tapi, Ku tak khan pernah menyerah untuk moe . .
Apalagi ntuk-turun dtengah-tengah tanjakan
Tabu bagi-koe . .  . . .

Aku terburu-buru untuk mengingat-moe dik
Ingin segera sampai di rumah . . .
Pedal berderit . .tenaga koe meluncurkan peluh
Cuma dirimoe dik, yang akoe inginkan
Tuk Sampai di rumah . . . . . .

Duduk diteras, ter naungi plumeria orange
Teh dengan cangkir Jepang warna hijau dan bunga nan ranum
Disajikan untuk koe
Disedu teh celup melati, dari tangan moe. .
Dari bukit Guchi daerah Moga , diseberang selatan arah kampung-moe
Sambil memperhati tangan terindah -moe. . . . .

Duduk di bale-bale memandang moe
Yang kadang  tidak pernah berucap . . .sama-sama membisu
Tapi hati-koe selalu berdetak kencang menatap moe
Membayangkan hitam rambut-moe
Tergerai lembut . . . .
Selalu Tersurai harum bunga . . . .
Merumpun bersama melati
14 tahun telah  bersama-moe ....” dik”
Dan selalu membuat-koe gugup bila berhadapan dengan moe

Kata-kata tidak berbunyi menjadi angin
Tatapan meluruh cahya
 Bayangan melahirkan  pandora bulan
Biarkan kami bercengkrama dalam lamunan
Lamunan menjadi senggama angin
Dalam benak  kupanggil diri-moe ” Dik”
 Kekasih jiwa-koe . . . .

Jakarta, 9 Mei 2011