"Ku-panggil sebutan-Moe ”Dik ” . . . .
Kupanggil
dalam benak-koe, diri moe dengan sebutan “dik”
Tak
pernah tersampaikan . . juga dalam kata-kata
Mau
Kupaksakan dalam sebutan
Sepertinya naif, ”tak pernah dan asing . . .
Walau
bersama-moe telah dikarunia putra
Putra bulan, putra matahari, putra bayu . . .
Putra bulan, putra matahari, putra bayu . . .
Terkejut
!!
dan
setengah tersentak . . . .
ketika
penjual cempedak
Memindahkan
pikulannya dari bahu kiri, ke kanan
Memotong
jalur sepeda,
memotong mimpi
Menyentak’kan
lamunan . . .
Rem
sepeda Gazelle kuremas sekuatnya
menderit bunyi ban tergerus kasar . . . . .
menderit bunyi ban tergerus kasar . . . . .
”shoes
rem yang telah mati – menghujam velg Kron Prinz
”
Hampir
saja, sepeda tua koe menerkam buritan bakul cempedak
Darah
sepertinya terpompa ke atas . . .
Mengalir
cepat sepanjang aliran nadi, masya Allah . . .
Mencoba,
menormalkan kembali
Kayuhan
sepeda dan men sinkronkan dengan lamunan .
Sampai
mana tadi . . .
Oh
ya . . .dik, mama . . .sebutan untuk moe . . .
Kadang-kadang
singkat saja ” ma”
Tetapi
menggambarkan semua warna
Hijau,
lembayung , kuning ataupun merah . . . .
Semburat
warna merah pratanda marah . . .
Buat-koe
bisa saja merah – menjadi cantik
Atau
membelenggu menjadi darah beku, yang perlu pencairan . .
Se
saat . . .untuk melihat moe cerah kembali
Dik
untuk koe – bulan selalu hinggap diatas kepala-moe
Pedal
Wipperman sepeda tua, kukayuh kuat
Menembus
belantara tanjakan Kemang Utara
Seperti
mendaki tiga bukit di Argapura . . . .
Padahal
Jalan yang sama, yang kulalui harian
selalu
dalam genggaman gaz motor skutik
Tidak
terasa, hanya bunyi mesin menggeram kencang
Pasti
terlewati, tiap tanjakan . . . tanpa penat
Tetapi
sekarang, setiap kayuhan, melunturkan peluh
Disergap
lelah . . .
Tidak
ada kayuhan yang sama
Kombinasi
tenaga yang terkuras dan laju yang terbatas
Ketengkas
berderit – tersambar rantai sepeda yang kukayuh
Aaah
.....ada saja mobil yang menginjak rem mendadak
Ditengah
tanjakan . . .uhhh !
Tidak
pernah tau – semau-nya memotong jalur
Padahal
aku sudah ambil ancar-ancar dari bawah
Menyimpan
tenaga . . . .ntuk melalap tanjakan
Sekarang
harus menekan rem tangan
Dan
tenaga yang terpangkas ditengah jalan
Tapi,
Ku tak khan pernah menyerah untuk moe . .
Apalagi
ntuk-turun dtengah-tengah tanjakan
Tabu
bagi-koe . . . . .
Aku
terburu-buru untuk mengingat-moe dik
Ingin
segera sampai di rumah . . .
Pedal
berderit . .tenaga koe meluncurkan peluh
Cuma
dirimoe dik, yang akoe inginkan
Tuk
Sampai di rumah . . . . . .
Duduk
diteras, ter naungi plumeria orange
Teh
dengan cangkir Jepang warna hijau dan bunga nan ranum
Disajikan
untuk koe
Disedu
teh celup melati, dari tangan moe. .
Dari
bukit Guchi daerah Moga , diseberang selatan arah kampung-moe
Sambil
memperhati tangan terindah -moe. . . . .
Duduk
di bale-bale memandang moe
Yang
kadang tidak pernah berucap . .
.sama-sama membisu
Tapi
hati-koe selalu berdetak kencang menatap moe
Membayangkan
hitam rambut-moe
Tergerai
lembut . . . .
Selalu
Tersurai harum bunga . . . .
Merumpun
bersama melati
14
tahun telah bersama-moe ....” dik”
Dan
selalu membuat-koe gugup bila berhadapan dengan moe
Kata-kata
tidak berbunyi menjadi angin
Tatapan
meluruh cahya
Bayangan melahirkan pandora bulan
Biarkan
kami bercengkrama dalam lamunan
Lamunan
menjadi senggama angin
Dalam
benak kupanggil diri-moe ” Dik”
Kekasih jiwa-koe . . . .
Jakarta, 9 Mei 2011