Tuesday, July 10, 2012




”Diri-moe dan warna merah” . . . .


Kubuka lembaran layar monitor
Ukuran 5x4 mm
Ragu-ragu akan ku masuk’kan pin moe
Yang kulihat hanya sinar mata-moe
Sekejap
Demikian teduh

Di izin’kan kah akoe ? . . . .

Se-andainya akoe angin
Tiada perlu akoe minta izin moe
Se-andainya akoe sinar bulan
Tak perlu akoe memberitahukan-moe
Akoe bisa berada pada moe
Diatas, dibawah, dimana-pun
Tanpa perlu diri’mu tau

Punya-kah koe-keberanian ?
Menanyakan izin moe
Tangan-koe telah terlanjur menekan
”send” . . . .oooh seperti melepas keberanian
Hati-koe terbakar. . .akankah ada izin’moe

Cakrawala bermain dalam makna harapan
harapan kelabu
Harapan berwarna merah
Biru atau ungu
Tidak penting bagiku  . . .
Yang kutunggu makna-moe pada koe

Berkedip red eye merah tergerai layar monitor
Kusambar layar 5x4 mm
Apakah . . adakah . . .sejuta tanya, sejuta harapan
Tergerai profil-moe dalam layar
Setengah diri-koe terburai mimpi

Tak’kan kulepas
Kubawa tidur
Kubawa mimpi
Salam-koe untuk sinar bulan
Salam-koe untuk angin
Senyum-koe untuk purnama

Jakarta, Juli 2012

"Ku-panggil sebutan-Moe ”Dik ” . . . .


Kupanggil dalam benak-koe, diri moe dengan sebutan “dik”
Tak pernah tersampaikan . . juga dalam kata-kata
Mau Kupaksakan dalam sebutan
 Sepertinya naif, ”tak pernah dan asing . . .
Walau bersama-moe telah dikarunia putra
Putra bulan, putra matahari, putra bayu . . .

Terkejut !!
dan setengah tersentak . . . .
ketika penjual cempedak
Memindahkan pikulannya dari bahu kiri, ke kanan
Memotong jalur sepeda, memotong mimpi
Menyentak’kan lamunan . . .
Rem sepeda Gazelle kuremas sekuatnya
menderit bunyi ban tergerus kasar . . . . .
”shoes rem yang telah mati – menghujam  velg Kron Prinz ”
Hampir saja, sepeda tua koe menerkam buritan bakul cempedak 
Darah sepertinya terpompa ke atas . . .
Mengalir cepat sepanjang aliran nadi, masya Allah . . .

Mencoba, menormalkan kembali
Kayuhan sepeda dan men sinkronkan dengan lamunan .
Sampai mana tadi . . .
Oh ya . . .dik,  mama . . .sebutan untuk moe . . .

Kadang-kadang singkat saja ” ma”
Tetapi menggambarkan semua warna
Hijau, lembayung , kuning ataupun merah . . . .
Semburat warna merah pratanda marah . . .
Buat-koe bisa saja merah – menjadi cantik
Atau membelenggu menjadi darah beku, yang perlu pencairan .  .
Se saat . . .untuk melihat moe cerah kembali
Dik untuk koe – bulan selalu hinggap diatas kepala-moe

Pedal Wipperman sepeda tua,  kukayuh kuat
Menembus belantara tanjakan Kemang Utara
Seperti mendaki tiga bukit di Argapura . . . .
Padahal Jalan yang sama, yang kulalui harian
selalu dalam genggaman gaz motor skutik
Tidak terasa, hanya bunyi mesin menggeram kencang
Pasti terlewati, tiap tanjakan . . . tanpa penat

Tetapi sekarang, setiap kayuhan, melunturkan peluh
Disergap lelah . . .
Tidak ada kayuhan yang sama
Kombinasi tenaga yang terkuras dan laju yang terbatas
Ketengkas berderit – tersambar rantai sepeda yang kukayuh
Aaah .....ada saja mobil yang menginjak rem mendadak
Ditengah tanjakan . . .uhhh !

Tidak pernah tau – semau-nya memotong jalur
Padahal aku sudah ambil ancar-ancar dari bawah
Menyimpan tenaga . . . .ntuk melalap tanjakan
Sekarang harus menekan rem tangan
Dan tenaga yang terpangkas ditengah jalan
Tapi, Ku tak khan pernah menyerah untuk moe . .
Apalagi ntuk-turun dtengah-tengah tanjakan
Tabu bagi-koe . .  . . .

Aku terburu-buru untuk mengingat-moe dik
Ingin segera sampai di rumah . . .
Pedal berderit . .tenaga koe meluncurkan peluh
Cuma dirimoe dik, yang akoe inginkan
Tuk Sampai di rumah . . . . . .

Duduk diteras, ter naungi plumeria orange
Teh dengan cangkir Jepang warna hijau dan bunga nan ranum
Disajikan untuk koe
Disedu teh celup melati, dari tangan moe. .
Dari bukit Guchi daerah Moga , diseberang selatan arah kampung-moe
Sambil memperhati tangan terindah -moe. . . . .

Duduk di bale-bale memandang moe
Yang kadang  tidak pernah berucap . . .sama-sama membisu
Tapi hati-koe selalu berdetak kencang menatap moe
Membayangkan hitam rambut-moe
Tergerai lembut . . . .
Selalu Tersurai harum bunga . . . .
Merumpun bersama melati
14 tahun telah  bersama-moe ....” dik”
Dan selalu membuat-koe gugup bila berhadapan dengan moe

Kata-kata tidak berbunyi menjadi angin
Tatapan meluruh cahya
 Bayangan melahirkan  pandora bulan
Biarkan kami bercengkrama dalam lamunan
Lamunan menjadi senggama angin
Dalam benak  kupanggil diri-moe ” Dik”
 Kekasih jiwa-koe . . . .

Jakarta, 9 Mei 2011

KUSADARI


Kusadari.......

tidak ada sudut yang tersisa untuk diri-koe
ataupun roda itu telah terpatahkan
Illalang itu telah pula terbakar

tidak lagi tegak
tidak lagi terayun menikmati buaian angin

tidak ada lagi
hanya hitam dan senyap

kusadari......
kekekalan sebuah kesenyapan
menari-nari diantara cahya bintang
biar menyaksikan
beterbangan bersama illalang yang terbakar
biar titik api itu tetap membara didalam jiwa

memberi bara kesunyian
saat kulihat bintang
saat kulihat matahari
saat kulihat bayang-bayang diri-moe
terbawa angin

tidak akan kuhapus

Melihat diri-moe dari sisi yang lain
dalam bayang-bayang gundah-koe
dalam bayang-bayang dahaga-koe
saat butir embun melangkahi ujung illalang
hanya sekedar jatuh di ujung pelipis-koe

hanya sekejap
sudah itu musnah
tidak untuk butirnya yang telah hinggap
merasuk menjadi bagian diri-koe
biar akoe melihat diri moe dari kesenyapan
biar kesenyapan menjadi saksi
biar itu yang tersisa

terbanglah dewi koe
tinggalkan akoe walau hanya sekedar kesenyap'an-moe
keusaian sepi

kusadari.........